Malam Minggu ini
tidak lebih indah dari malam Minggu yang lalu, bahkan lebih menyesakkan. Iya,
sangat menyesakkan. Seseorang yang selama 3 tahun ini kuharap bisa bertemu
langsung denganku, semalam datang ke sini, ke kotaku, dia ada kerjaan yang
cukup rahasia. Tidak diketahui oleh teman-temannya, bahkan teman dekatnya sekali
pun, hanya beberapa orang saja yang tahu. Aku bersyukur, aku mengetahui
kedatangannya ke kotaku ini, aku gembira, bahagia mendengar berita itu. Orang
yang selama ini ingin kujumpai akan mengunjungi kotaku? Kota kelahiranku?
Tempat dimana aku tinggal? Betapa rasa gembira ini terlukis seperti mimpi. Aku
membayangkan bagaimana nanti jika aku bertemu dengannya, apa aku akan menangis?
Namun aku ingat dengan doaku selama ini; jika aku bertemu dengannya, akan
kupeluk erat dia dan membisikkan betapa aku menyayanginya.
Aku sudah berimajinasi bagaimana kelanjutan setelah
pertemuan itu, apa aku akan ditraktir makan seperti yang lainnya? Apa aku akan
diantarkannya pulang seperti mereka? Apa sambutanku akan diterima dengan
gembira olehnya? Yang aku yakin dan aku tahu, dia takmungkin mengabaikanku
disaat pertemuan itu, karena dia baik, dia ramah dan dia humble. Aku sudah
merencanakan semuanya, menyiapkan segala sesuatunya, bahkan aku sudah
membuatkan ia beberapa souvenir untuk ia bawa pulang ke kotanya. Aku bersusah
payah meminta izin pergi pada kedua orang tuaku untuk menemuinya, sampai mataku
sembab karena memang aku tidak diizinkan pergi hingga larut malam. Aku merengek
pada mereka, hingga muncul rasa iba dari hati mereka pada anak bontotnya ini,
mereka mengizinkanku pergi asalkan pukul 12 malam aku harus sudah ada di rumah.
Aku pun mencoba menghubunginya, meminta kepastian pukul
berapa ia akan datang dan dimana ia akan rehat sejenak. Namun, aku bisa
memakluminya jika ia takmenggubris pesan-pesanku yang kukirim untuknya, ia
memang sibuk. Dan aku akan terus mengejar mimpiku; untuk bisa menyatakan sayang
padanya hingga pada Jum’at sore ia menjawab pesan singkatku, ia akan
mengabariku jika ia sudah menuju kesini. Kegembiraanku terluap takbisa
kugambarkan dengan rangkaian kata, aku membayangkan bagaimana aku jika sudah
bertemu dengannya; jangankan bertemu, sudah dibalas saja aku senangnya bukan
main.
Sabtu pagi, aku melihat ke cermin, indah sekali wajahku
dengan senyuman kecil penuh kebahagiaan, menanti pertemuan yang 3 tahun
kudambakan. Berangkat sekolah dengan senangnya, semangat sekali aku pagi itu.
Apa lagi ketika ia mengirimkanku pesan; kira-kira Sabtu sore ia sudah sampai di
sini. Aku taksabar menunggu bel pulang dan menemuinya sore itu. Namun
keceriaanku berubah kesal ketika mendapat kabar darinya, ia sedang terjebak
macet dan kemungkinan malam ia baru akan sampai disini. Tapi kabar itu
takmembuatku patah semangat, aku pasti akan bertemu dengannya, toh tidak
mungkin juga dia sampai sini pukul 12 malam, bagaimana dengan pekerjaannya?
Pulang sekolah aku langsung mandi, dandan, siap-siap,
pake parfum dengan aroma kesukaannya banyak banget sampe tinggal setengah
botol, aku pergi ke tempat ia akan rehat. Aku menungguinya sejak pukul 5 sore,
betapa dag-dig-dugnya hatiku, rasanya sudah taksabar untuk segera menemuinya.
Hingga malam tiba, aku tetap saja menunggunya, sendirian, sampai-sampai aku
dicurigai oleh satpam penjaga tempat itu. Tapi aku cuek, aku takperduli, yang
penting aku bisa bertemu dengannya, bertemu kebahagiaanku. Detik-detik waktu
tanpa terasa aku lalui hingga menunjukkan pukul 8 malam, aku semakin taksabar.
Aku melihat kado yang kubuat untuknya dengan wajah penuh dengan keceriaan. Tapi
keceriaan itu pupus seketika aku mendapat pesan darinya yang mengatakan dia
baru sampai Indramayu, ia terkena macet parah. Takmungkin ia akan sampai sini
kurang dari jam 12, Indramayu kan kota lain provinsi.
Tapi dengan penuh kebodohanku, aku tetap menunggu;
menunggu keajaiban kalau-kalau mobilnya diangkat malaikat yang Tuhan kirim
untuk membawa ia padaku. Pukul 11 malam ia mengabariku kembali dan mengatakan
dia sudah sampai di Cirebon. Percuma, aku harus pulang, pulang dengan tangan
hampa, penuh penyesalan, keterpurukan, aku merasa kecil, dan terjatuh dalam
sekali. Aku tidak akan menemuinya, aku takakan bertemu dengannya. Rasanya aku
ingin tetap menunggunya, mungkin sampai hari esok, ingin membangkang dengan
orang tua, toh aku sudah ada di luar rumah. Tapi aku ingat dengan pesan darinya
tempo dulu; untuk jangan mengorbankan kewajiban demi dia, karena itu hanya
membuat semua orang kecewa termasuk dia. Dan akhirnya aku pulang hanya dengan
ketegaran, kesesakan tangis yang aku tahan. Mungkin Tuhan belum menghendaki pertemuan ini, pasti Tuhan mempunyai rencana yang lebih baik untuk kebahagiaanku. Setidaknya aku pernah saling
bertuka kabar dengannya. Setidaknya ia
pernah membuat janji denganku. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar